Keberadaan
UKM sebagai bagian dari seluruh entitas usaha nasional merupakan wujud nyata
kehidupan ekonomi yang beragam di Indonesia. Oleh karena itu, penempatan peran
UKM merupakan salah satu pilar utama dalam mengembangkan sistem perekonomian,
namun hingga kini perkembangannya masih jauh tertinggal dibandingkan dengan
pelaku ekonomi yang lain. Dalam pengembangannya, UKM harus menjadi salah satu
strategi utama pembangunan nasional yang pelaksanaannya diwujudkan secara
sungguh-sungguh dengan komitmen bersama yang kuat serta didukung oleh
upaya-upaya sistematis dan konseptual secara konsisten dan terus -menerus
dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (baik pemerintah, swasta,
maupun masyarakat di tingkat nasional, regional, maupun lokal).
Sejalan
dengan perkembangan dalam era globalisasi dan tuntutan dalam rangka pelaksanaan
otonomi daerah, masalah krusial yang juga banyak dikeluhkan belakangan ini oleh
para pelaku bisnis termasuk UKM munculnya berbagai hambatan yang berkaitan
dengan peraturan-peraturan baru, khususnya di daerah. Peraturan-peraturan
daerah ini sering kurang atau bahkan tidak memberikan kesempatan bagi UKM untuk
berkembang. Dalam implementasinya, birokrasi administrasi yang berbelit-belit
dan penegakan hukum yang kurang tegas menjadi tantangan yang terus harus kita
atasi ke depan. Berawal dari berbagai masalah, tantangan, dan hambatan tersebut
di atas, maka dalam pengembangan koperasi dan UKM, pemerintah telah menetapkan
arah kebijakannya, yaitu Mengembangkan UKM, Memperkuat Kelembagaan, Memperluas
basis dan kesempatan berusaha. Mengembankan UKM sebagai produsen, dan Membangun
Koperasi
Dalam
pembangunan perekonomian di Indonesia UKM selalu digambarkan sebagai sektor
yang memiliki peranan penting. Hal ini dikarenakan sebagian besar jumlah
penduduknya berpendidikan rendah dan hidup dalam kegiatan usaha kecil baik di
sektor tradisional maupun modern. UKM juga memiliki peran yang strategis dalam
pembangunan perekonomian nasional, oleh karena itu, selain berperan dalam pertumbuhan
ekonomi dan penyerapan tenaga kerja juga berperan dalam perindustrian
hasil-hasil pembangunan.
Usaha
kecil dan menengah (UKM) dalam memegang peranan penting tersebut, baik ditinjau
dari segi jumlah usaha (establishment) maupun dari segi penciptaan lapangan
kerja. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh BPS dan Kantor Menteri Negara
untuk Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menegkop & UKM), usaha-usaha
kecil termasuk usaha-usaha rumah tangga atau mikro (yaitu usaha dengan jumlah
total penjualan (turn over) setahun yang kurang dari Rp 1 milyar), pada tahun
2000 meliputi 99,9 persen dari total usaha-usaha yang bergerak di Indonesia.
Sedangkan usaha-usaha menengah (yaitu usaha-usaha dengan total penjualan
tahunan yang berkisar antara Rp 1 Milyar dan Rp 50 Milyar) meliputi hanya 0,14
persen dari jumlah total usaha. Dengan demikian, potensi UKM sebagai
keseluruhan meliputi 99,9 persen dari jumlah total usaha yang bergerak di
Indonesia.
Dalam
mewujudkan system tersebut, dibutuhkan lingkungan yang mendukung. Lingkungan
yang paling dekat adalah lingkungan operasi UKM itu sendiri yang secara
langsung dihadapi oleh UKM. Lingkungan ini secara langsung mempengaruhi
performa UKM. Kompetitor, kreditor, pelanggan, buruh, dan pemasok adalah
faktor-faktor yang mempengaruhi performa UKM. Penguasaan pangsa pasar salah
satu faktor yang menentukan sejauhmana daya kompetisi UKM. Sedangkan dari sisi
sistem kredit, perburuhan, dan pelanggan juga sangat nyata mempengaruhi UKM.
Prospek
bisnis UKM dalam era perdagangan bebas dan otonomi daerah sangat tergantung
pada upaya yang ditempuh oleh pemerintah dalam mengembangkan bisnis UKM. Salah
satu upaya kunci yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengembangkan iklim
usaha yang kondusif bagi UKM. Untuk mencapai iklim usaha yang kondusif ini,
diperlukan penciptaan lingkungan kebijakan yang kondusif bagi UKM. Kebijakan
yang kondusif dimaksud dapat diartikan sebagai lingkungan kebijakan yang
transparan dan tidak membebani UKM secara finansial bicara berlebihan. Ini
berarti berbagai campur tangan pemerintah yang berlebihan, baik pada tingkat
pusat maupun daerah harus dihapuskan, khususnya penghapusan berbagai peraturan
dan persyaratan administratif yang rumit dan menghambat kegiatan UKM.
Selain
penciptaan lingkungan bisnis yang kondusif, program-program pengembangan UKM
yang diarahkan pada supply driven strategy sebaiknya mulai ditinggalkan,
sebagai pengganti dari arah program ini yakni pengembangan program UKM yang
berorientasi pasaryang didasarkan atas pertimbangan efisiensi dan kebutuhan ritel
UKM (market oriented, demand driven programs). Fokus dari program ini yakni
pertumbuhan UKM yang efisien ditentukan oleh pertumbuhan produktivitas UKM yang
berkelanjutan, dan pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan UKM yang
berkelanjutan.
Komentar
Posting Komentar